Sinden dan Siter

Bagi anda penduduk kota kecil – Madiun – yang sekarang tinggal di kota itu, mungkin yang saya ceritakan ini sudah punah dari kota anda sekarang ini. Orang lebih suka pergi ke Mal, pergi ke alun-alun, atau santai menunggu sore di pinggir Kali Madiun, daripada mendengarkan “Sinden dan Siter”…

Waktu saya masih duduk di SMA 1 Madiun tahun 1973-1975 yang lalu, kalau pulang sekolah di waktu siang atau di waktu pulang les sore hari, tepat di sebelah timur SMA 1 Madiun kira-kira berjarak 100 meter, persis di bawah pohon waru banyak angkot-angkot jurusan Dungus pada ngetem di sana…

Nah, para sopir dan kenek angkot yang sedang kecapekan itu biasanya dihibur oleh iringan musik “unplugged” (tanpa loud speaker listrik) berupa kuartet pengendang, pemain rebab, pemain siter (kecapi) dan pemain bas berupa bumbung bambu. Trio pemusik Jawa ini mengiringi nyanyian seorang penyanyi Jawa – yang disebut Sinden – menyanyikan lagu-lagu Jawa yang merdu, melankolis, dan mendayu-dayu sehingga para sopir angkot yang kecapekan itu bisa tidur pulas, apalagi dibelai oleh belasan pohon waru yang daunnya melambai-lambai ditiup angin…

Pemandangan seperti ini sepintas “biasa” saja, apalagi bagi orang yang biasa setiap hari melihat “performance” seperti ini. Ternyata ada seorang teman di kantor bernama Sudjud Suratri, yang dulu kakaknya bekerja sebagai pilot di Lanuma Iswahyudi sehingga iapun sebagai anak Yogya sering bermain ke Madiun. Nah, kakaknya Sudjud yang pilot AURI ini yang memberi komplimen terhadap “performance” Sinden & Siter tadi “Lha iya, apresiasi terhadap budaya Jawa seperti yang saya lihat di Madiun ini jarang sekali saya lihat bahkan di pusat kebudayaan Jawa di Yogya sekalipun. Di Madiun ini, anak-anak muda pada berkumpul mengelilingi “performance” ini dan ikut menyanyi Jawa mengikuti sinden, sambil menepuk-nepukkan tangan, dan ikut sesenggakan seolah mendukung nyanyian si Sinden”..

Sayapun terhenyak, kalau seorang priyayi Ngayogyakarta sudah berkata, masak kita tidak percaya ?

Diam-diam sayapun bangga sebagai warga kota Madiun yang masih menghargai budaya Jawa yang “adiluhung” itu..

Dulu, karena akhir-akhir ini saat saya pulang kampung ke Madiun semuanya sudah hilang : pohon-pohon waru berdaun lebar, colt-colt Mitsubishi T120 yang kokoh, sopir-sopir angkot yang dekil dan berangasan, dan timer yang berlagak jagoan. Termasuk yang hilang : seperangkat kuartet Javanese musician : pemain rebab, pemain siter, pemain kendang, dan peniup bass bambu, dan yang terpenting Sinden yang suaranya nyaris semerdu Tjondrolukito…

Apakah anda merasa kehilangan juga ?

12 Comments (+add yours?)

  1. totok
    Feb 25, 2009 @ 18:19:44

    cerita yang satu ini mengusik kerinduanku juga terhadap sinden ”gong abab”. Di9namakan gong abab lantaran ttiruan gong besar itu terbuat dari bumbung bambu, yang hanya bisa bunyi kalau ditiup, alias diabab-i.

    Saat Jawa Pos masih ngantor di bekas prakteknya dr Wiranto di baratnya SMA Cokroaminoto, aku termasuk pecinta seni yang satu ini.

    Hampir tiap malam, sehabis deadline, biasanya sinden itu lewat depan kantor dan mesti menawarkan diri ”mampir mboten masss….” Tentu saja aku dan kawan-kawan langsung saur manuk ”mampir yu…”

    Maka dari jam 10 sampai 12 malam, menikmati suara sinden gaya cokekan lumayan buat obat stress sehabis dikejar-kejar deadline. Dan itu selalu aku lakukan sampai tahun 1987 saat aku ditarik ke Surabaya. Setelah itu, aku gak ngerti nasibnya.

    Sekarang, 2009 sudah setahun saya kembali lagi ke Madiun. Tapi sayang, suasana itu sudah hilang. Kalau toh ada, itu pun di belakang Pasar Sleko, lagian nggak setiap hari ada.

    Dan rata-rata, mereka dari Desa Pesu, Kecamatan Karangmojo. Sehari-hari mereka petani, hanya kalau malam saja mereka tarik suara dan dikenal juga sebagai ”SINDEN PESU”.

    Ntar kalau sempat tak lacaknya dan tak tulisnya di blog ini, sebagai tombo kangen orang asli mbediyun yang sobo paran.

    Sayangnya aku gak isok nglebokno foto nang blog sampean. Tulung diajari, he….hee. ketok katoke,….eh salah ketok katroke.

    Cak-e Totok-e,
    Yo wis ceritamu berburu “gong abab” dak tunggu yo….
    Yen kon arep ngirim foto sinden lan “gong abab”, bisa dikirim pakai email ke email saya aja tridjokoeta@yahoo.com
    Tenan yo, ditunggu…… 😉

    Reply

  2. simbah
    Feb 26, 2009 @ 19:46:21

    Jaman ndisik wong ngamen orang angger mangap, didandani (maksude aransemene) apik, koyo kroncong, sak rombongan kurang luwih wong 3 utowo luwih dadi neng kuping ya gayeng tenan. Kapan kae ono tanggaku nanggap musik kroncong sing pas liwat ono, wong 10, karo jagongan arisan. Jian jan nyamleng tenan, gak katik son sistim, garingan. Ning yo malah alami….njur nyuut… kelingan wektu aku disik pipis wae durung lurus….he…he…

    Simbah,
    Jaman aku SMP biyen, onok tetanggaku bedo 2 blok soko omahku ke arah timur, saben Rabu malam ngundang konco-koncone neng omah lan podho main musik keroncong…. Wah..jian guayeeeng tenan….
    Terus sejak kuwi aku bercita-cita mengko yen wis pangsiun aku arep ngumpulne konco-koncoku ben isok main keroncong….. tapi ternyata jaman saiki di kalangan uwong tuwek koyok awake dewe, sulit sing isih isok main musik….dadi yo harapan tinggal harapan….

    Reply

  3. alrisblog
    Feb 27, 2009 @ 02:16:36

    Kalau saya waktu kecil suka dengar orang memainkan rabab semalam suntuk. Itu lah hiburan orang kawinan yang jamak di kampung saya waktu kecil. Kalo sekarang nanggap organ tunggal atau orkes yang jreng…jreeng….jreeeeeeng bikin mata gak bisa tidur.

    Saya waktu kecil di RRI Madiun (atau RRI Bandung yang tertangkep dari radio saya di Madiun) suka ndengerin lagu-lagu Minangnya Elly Kasim lho…

    Reply

  4. edratna
    Feb 27, 2009 @ 16:09:59

    Kemajuan zaman kadang membuat orang tertatih-tatih mengikutinya….padahal mereka kalau dinegara lain akan mendapat uang yang lebih pantas. Jadi ingat saat jalan-jalan ke Jerman Timur (Dresden), ada anak usia SMP, masih berseragam sekolah, main biola, orang-orang berkerumun dan memberi mereka uang….dan saling bertepuk tangan setiap satu lagu usai dimainkan.

    Bu Edratna,
    Yang membuat “Sinden dan Siter” punah karena kurangnya apresiasi masyarakat, pemerintah daerah, pendidik, dan tokoh masyarakat akan kesenian dan kebudayaan ini. Masyarakat umumnya lebih suka nonton VCD dan nonton sinetron, bisa sambil bermimpi-mimpi ke masa depan, dibanding menikmati seni adiluhung yang hanya “kembali ke jaman dulu”. Akibatnya, kalau ada kelompon Sinden dan Siter yang mbarang, dicuekin aja, atau dikasih uang cuman sedikit (karena kurangnya apresiasi). Makanya lama kelamaan punah…

    Terakhir saya nonton Sinden dan Siter justru di Hotel Hilton (waktu itu, 2000an) di lounge-nya diperdengarkan. Sangat menyejukkan jiwa. Tapi setelah hotelnya ganti nama, apa masih ada di lounge-nya apa tidak, saya tidak tahu…

    Reply

  5. totok
    Feb 28, 2009 @ 09:15:04

    Moco komentare simbah, aku dadi pengin nulis pengalamanku Jumat wingi, aku nang Suroboyo blonjo alat Wifi.

    Nang bus, saben kuto onok arek ngamen gantian, munggah mudun sampek duit recehan entek (opo maneh sing ora receh). Tapi yo kuwi cak, angger mangap trus nggae ketipung soko jerigen banyu mineral. Wah jan, suarane gonjrang-ganjreng sampek kupingku tak tutupi.

    Trus introne rata-rata sama, ”nggih niki kuolo nderek ngamen, golek gawean angel, timbang nyolong nek konangan digebugi uwong. Satus rong atus, rokok-rokok nopo permen nggih purun, iklas bagi anda halal bagi kami,”.

    Intro iku koyok dadi lagu wajib bagi para pengamen. mereka minta satu ronga tus, yo entuk satus tenan cak.

    Padahal, bakul Mizone sing biasane rego Rp 2.500, didol nang bus Rp 5.000 yo dituku. Batine wis Rp 2.500 dewe. Sing tuku yo ora protes, bisa memaklumi dan lebih menghargai jerih payah seperti itu, ketimbang menadahkan tangan sambil asal mangap.

    Budaya menadahkan tangan memang sangat memprihatinkan. Dengan membawa pasal ”cari kerjaan huaaangel dan ketimbang nyolong” mereka sah-sah saja melakukan pekerjaan menadahkan tangan. Padahals ecara apsikologi (he…he…sok tau, ntar dimarahi psikolog) kebiasaan menadahkan tangan jelas tidak akan membuat mereka maju.

    Cak-e Totok-e,
    Emang semua ini dimulai di Jakarta. Dan pengamen di daerah pasti niru dari Jakarta, lha wong penyiar radio di Salatiga dan Ngawi aja cara ngomongnya kayak cara ngomong penyiar Prambors kok pakai “lu” dan “gue”…

    Di Jakarta juga sama, ada pengamen atau orang minta2 di bis kota yang intronya “Bapak Ibu sekalian maaf mengganggu, daripada saya bertindak kriminal, lebih baik saya ngamen”…

    Tapi yang biasanya ngamen dengan intro begitu (nakut-nakuti) atau pura-pura buta pakai kacamata hitam (tapi begitu lihat cewek bening, matanya jadi jelalatan ngikutin), saya nggak kasih uang… dengan alasan : trik murahan…

    Tapi kalau main gitarnya bagus atau suaranya seperti kontestan Indonesian Idle, pasti saya kasih uang kadang Rp 500 kadang Rp 1000…

    Reply

  6. totok
    Feb 28, 2009 @ 18:29:31

    Iyo cak, virus Jakarta memang selalu cepet menyebar ke daerah. Bahasa pun kalau nggak pakai dialeg jakarta, dianggap udik. Jadi kalau orang Jawa ngomong akhirnya jadi ”Mbok jangan gitu to dong…dong.”

    Sayang, virus perputaran duit Jakarta nggak bisa menyebar ke daerah. Jadi kalau Fuad Fuadi yang sekarang nyaleg DPR bilang penghasilannya sebulan Rp 200 jutaan, bikin kita yang di ndeso terbengong-bengong. Duit segitu buat apa ya……

    Cak Totok,
    Kata orang, 70% duwit di Indonesia berputar di Jakarta, dan 70% duwit Jakarta berputar di sekitar Glodok. Jadi 49% duwit di Indonesia berputar di Glodok…Tapi itu di jaman Orba dulu…

    Jaman otonomi daerah mulai 2000 sampai sekarang, 35% duwit pusat sudah nyebar ke daerah. Jadi, sebenarnya di daerah sekarang ini “lebih banyak” duwit daripada di pusat. 35% duwit APBN untuk nyaur utang, dan baru 30% sisanya dimiliki oleh pemerintah pusat…

    Kalau ada orang yang penghasilannya Rp 200 jeti per bulan, komentar saya cuman satu “Apa itu duwit semua atau ada daunnya ?” …hehehe… 😉

    Reply

  7. alris
    Feb 28, 2009 @ 22:26:21

    Apa yang diomongkan Fuadi Anwar artis sinetron yang ikut nyaleg itu bahwa penghasilannya 200 jeti perbulan saya kok gak percaya. Emang dia main sinetron disemua tv? Duitnya dicampur daun jati dari hutan Dungus barangkali.
    Masalah virus penyiar radio yang cuap-cuap pake dialek jakarta saya pikir udah merambah kemana-mana. Masa siaran di daerah pake dialek ibukota, sungguh tidak punya rasa kebanggaan.

    Uda,
    Siapapun dia, kalau meng-claim berpenghasilan Rp 200 jeti per bulan pasti yang seneng petugas pajak (saya bakal call teman saya) untuk datang ke rumahnya…hehehe…

    Cocok nggak SPT tahun kemarin dengan penghasilannya yang Rp 2,4 M per bulan ? Sebenarnya banyak kok bisnis yang penghasilannya segitu, tapi sebentar lagi polisi juga ikutan datang…haha…

    Penghasilan saya memang Rp 20 juta per bulan, tapi 80% nya adalah daun jati dari hutan Randublatung tempatnya Ngatini lahir…hehehe..

    Cuap..cuap..di radio pakai dialek Jakarta, pakai “lu” “gue” “deh” “dong” saya kira sudah menggejala di seantero nusantara. Jangan-jangan di Padang, Payakumbuh, Sawahlunto, Bukittinggi semua sudah begitu ?

    Nggak punya rasa kebangsaan ? Tanyalah pada rumput yang bergoyang…. 😉

    Reply

  8. totok
    Mar 01, 2009 @ 11:58:42

    He…he, ngomongin sinden dan siter akhirnya melambung sampek caleg DPR dan rasa kebangsaan.

    Tapi betul juga Uda Alris, kita rasanya sudah nggak punya rasa kebanggaan terhadap daerah sendiri. Padahal kalau pas pilihan pemimpin daerah, para calon pun sama-sama mengklaim sebagai putra daerah yang wajib dipilih.

    Tapi ada lho yang tetep mempertahankan dialeg daerah. Contohnya orang Madura. Soalnya orang Madura sulit mengubah dialek mereka, sehingga kalau dicampur dengan Jakartean, bisa jadi lucu. ”Ndok remak cong, lu, dong deh…..” he….he.

    Semalam, aku nyegat sinden di belakang Pasar Sleko sambil ngopi nyaris sampek hampir pagi. Tapi nggak ketemu. Kata orang-orang di warung itu. ”Wah mungkin niki nek pas panen. Dados pas panen ngaten niki biasane mboten ngamen.” He…he… petani yang ngamen atau ngamen yang petani.

    Cak Totok,
    Pas mulih neng mBediyun wingi, sore-sore aku lan kanca-kanca saka Jakarta menikmati tahu petis neng pojoke alun-alun cedak mesjid. Wah…sak jane sinambi mangan rujak petis lan cemo-e enak lho disambi ngrungokne sinden lan siter….tapi sayang ora onok yo…

    Mestinya Pemkot mBediyun c.q. Dinas Kebudayaan-nya mencari “local genius” macam grup sinden lan siter koyok ngene demi menglariskan pariwisata kota mBediyun sing wis nyaris mati lampune kari 5 watt mergo bis-bis lan mobil-mobil pribadi jurusan Solo-Suroboyo saiki luwih milih nyudet lewat Ngawi-Caruban sing isok menghemat barang 35 km. Tapi nek neng mBediyun akeh group sinden lan siter, sopo ngerti priyantun-priyantun sugih mau kerso mampir neng mBediyun…

    Opo nunggu aku madeg dadi Walikota utowo Bupati ? Hehehe….

    Reply

  9. alris
    Mar 01, 2009 @ 23:27:00

    Penghasilan saya dulu 100 jeti lebih per bulan, tapi yang 97% daun pohon duren dari bukit barisan, wekekeke… Dan penghasilan segitu udah di endus-endus pihak pajak *mau di phk saya masih sempat isi aplikasi buat npwp yang dibikin kolektif oleh perusahaan*
    Saya salut sama orang yang bangga pada asal-usulnya, pak Totok. Ya, kayak pak Totok, pak Tri dan Simbah. Bangga bukan membabi buta right or wrong is my kampong, tapi mau mempertahankan budaya adiluhung warisan leluhur.

    Uda,
    Di dalam hidup ini katanya yang pasti itu ada 2 : “kematian” dan “pajak”…hwekekekkekkek…. 😉

    Kemarin malem di TV saya lihat Ibu Mufridah JK diwawancari TVRI beliau bilang seneng ndengerin lagu Minang dan senang Elly Kasim…. Lho, Bu, kok kayak saya aja dulu suka ndengerin Elly Kasim dan Diah Iskandar dan Ernie Djohan yang semuanya urang Minang… ?

    Intinya gini, Uda. Kalau orang dari daerah lain aja suka menghargai budaya sampeyan, mengapa kami sendiri tidak suka menghargai budaya kami ? Soalnya, hampir punah nih. Cak Totok aja puter-puter mBediyun bahkan melek hampir pagi tapi nggak nemu grup sinden dan siter kok…hehehe…

    Reply

  10. alris
    Mar 02, 2009 @ 00:13:50

    Betul pak Tri. Orang mati aja masih kena pajak. Di Jakarta coba pajak kuburan gak dibayar, hilang ntuh nisan diganti kuburan orang lain.

    Sekali lagi salut buat yang menghargai budaya leluhur.

    Soalnya yang mati masih megang NPWP (Nomor Pralaya Wajib Pajak; Pralaya = Mati)….. 😉

    Reply

  11. totok
    Mar 02, 2009 @ 09:01:37

    Wah sampean ojok nyalon dadi walikota cak, engko sings ering moro malah aku, njaluk proyek. Lha wongs ampean dadi blogger wae, sedino tak endangi ping telu, opo maneh dadi walikota, salah-salah halamane kantor Pemkot jeblog mergo sikilku he….he.

    Pancen dinas-dinas iku mikire ora koyok wong swasta. Nek gak onok duite yo ora gelem mlaku cak. Mikir sinden siteran tampil nang alun-alun, jelas ora ono batine. Mending mikir liyane sing onok proyeke.

    Dadi ojok kaget nek nang mbediyun yo kondisine koyok ngono mau. Padahal, pikiran sampean karo pikiranku koyoke cocok. Umpomo alun-alun iku dibikin seperti itu, wah jan laras tenan. Termasuk halaman stadion wilis, saben malem minggu ramene ora karuan. Sayang belum bisa dimanfaatkan seniman yang termarginalkan itu.

    Contoh konkrit Kya-Kya Jalan kembang Jepun Surabaya. Daerah sepi mamring itu disentuh oleh pemikiran Dahlan iskan (big boss Jawa Pos Group) akhirnya sekarang jadi tujuan wisata. Pedagang kaki lima terangkat, regone isok diundakke. Tapi sayang, bareng rego panganan nang kono larang, akhire dadi PK5 elite.

    Aku jane yo punya pemikiran seperti itu cak, manggungke sinden siteran nang kawasan alun-alun karo stadion Wilis. Tapi sing tak kawatirke, durung-durung wis dipajeki karo oknum-oknum, mergo dikiro proyek.

    Misale, kledek ngamen soko Deso Pesu iku dikumpulno, onok pirang grup. Saben dino wajib ngamen nang alun-alun karo stadion. Budale disangoni, oleh-olehane kongkon mbagi dewe. Tapi terus duwite sopo sing gae nyangoni saben dino he….heeeeee.

    Cak Totok,
    Berarti yen 4 taun maneh aku pangsiun, aku isok nggolek gaweyan antar jemput sinden-sinden Pesu mau. Jam 3 sore tet tak jemput neng Desa Pesu, jam 6 sore wis teka alun-alun lan stadion Wilis, njur “konser”. Jam 11 wengi dibalekno meneh neng Desa Pesu. Lha yen malem minggu sampek jam 12 wengi…

    Nek bayangan “masa depan” koyok mangkono mau kelakon, lan akeh wong mBediyun ngrungokne Sinden lan Siter, wah…pasti balapan motor arek-arek sing unine “Reng… Rengg…Renggg….” mau pasti ilang dengan sendirinya….

    Reply

  12. totok
    Mar 02, 2009 @ 18:01:40

    Lha nek sampean ngojek antar jemput sinden pesu, mulihe ora jam 11 cak. Salah-salah malah sampek menjelang subuh he…..he (gak tak terusne ah….)

    Jan-jane pemikiran iku sederhana, pelaksanaane yo sederhana. Tinggal kemauane Pemkot lan instansi terkait sing ora sederhana.

    Tapi nek onok rezeki cak, untuk social responcibility (he…he…mugo-mugo gak keliru) kita hidupkan lagi kledek ngamen iku cak. Paling tidak, nek awake dewe wis tuyuk-tuyuk, isih isok ngrungokke gending ”LUNTUR” karyane maestro Gesang, nang pojokan alun-alun.

    Setttuuuuuujjjjuuuuuuuuu,,,, !!!!

    Reply

Leave a comment