Sejarah Binus: Melamar Jadi Dosen ATK

.[Cerita ini diambil dari blog lama saya dengan judul “Melamar Jadi Dosen ATK”. Karena posting ini menjadi favorit teman-teman dosen muda, maka saya copy+paste lagi di blog saya yang sekarang. Selamat membaca..]

Seperti biasa, pagi itu aku bangun pagi sekitar jam 4.30 dan mulai mandi. O ya, hari ini adalah bulan Agustus 1982. Aku sudah bekerja sebagai peneliti bidang pangan di BPPT – sebuah lembaga think thank milik pemerintah – selama dua tahun persis (aku mulai kerja 8 Agustus

1980). Sebentar lagi, tepatnya dua bulan lagi, aku bakalan menikah dengan orang yang sudah aku pacari selama 1,5 tahun ini. Namanya Susi, ia adalah seorang anggota militer dengan pangkat Sertu.

Entah apa yang membuat aku mempunyai ide untuk bekerja sambilan sebagai dosen, di samping pekerjaan utamaku sebagai peneliti di BPPT. Ini yang mungkin disebut sebagai “indera keenam” atau “bisikan ajaib”. Mengapa ?

Karena pekerjaanku di BPPT saat itu sudah bisa dibilang sangat mantap. Kantor paling modern se Jakarta, terletak di jalan yang paling terkenal di Indonesia – Jalan Thamrin, dengan gaji standar perusahaan minyak milik pemerintah. Ya, sewaktu aku melamar kerja di BPPT di pertengahan 1982, BPPT baru saja berganti nama. Nama lama adalah Divisi Advanced Technology Pertamina (Divisi lainnya yaitu Divisi Teknologi Penerbangan juga baru saja berubah nama menjadi PT. Nurtanio). Gaji awalku adalah Rp. 142.000, ditambah TSP (Tunjangan Selisih Penghasilan) sebesar Rp 75.000, dan masih ditambah uang lembur berkisar antara Rp 20.000-Rp 45.000. Yah total sekitar Rp 240.000, yang kalau dikurs dengan mata uang US Dollar saat itu 1 USD = Rp 425, maka gaji perbulanku adalah USD 600. Not bad at all, mengingat saya pegawai baru. Gaji kakakku yang bekerja di BRI waktu itu hanya separuh gajiku, yaitu Rp 118.000,-.

Dengan gaji sebesar itu, saya bisa hidup layak kost di Jalan Belitung, Bogor. Malah bisa menabung beberapa di Bank Tabungan Negara yang tentunya saat itu masih numpang di Kantor Pos Besar Samping Kebun Raya Bogor.

Dengan berubahnya Divisi AT Pertamina menjadi BPPT di tahun 1978, proses mutasi dari pegawai Pertamina Gol. 6 menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) segera dimulai. Beberapa pegawai senior ditawari, apakah mau menjadi pegawai BPPT, PT. Nurtanio, atau tetap di Pertamina. Anehnya, hanya segelintir orang yang pikirannya “cukup waras” dan memilih Pertamina. Sebagian besar, memilih sebagai PNS yang gajinya standar sekali.

Tapi aku lain, aku mencurigai ada sesuatu yang bakal terjadi. Misalnya, gaji akan dipatok sesuai dengan pegawai negeri lain. Waktu gajiku di BPPT Rp 240.000 per bulan, pegawai PNS Gol III/a gajinya hanya Rp 75.000, malah tiga bulan pertama sebagai CPNS gajinya hanya Rp 50.000.

Aku memberontak. I have to do something, kataku. It’s better to have a side job just in case something happens. Although I have to work in the evening (yeah, that’s why people called to have a side job as “moonlighting” because we work while to moon shine…in the evening).

Pagi itu, seperti biasa aku numpang bis antar kota LIMAS, bis paling keren yang menjalani rute Bogor-Cililitan via Jagorawi. Ongkos sekali jalan kalau tidak salah Rp 400. Kalau ongkos naik bemo di Bogor tahun 1982 adalah Rp 50 sekali jalan. Bis LIMAS yang masih baru itu baunya wangi, jumlah penumpangnya pas tempat duduk, dan kita masih dihibur dengan alunan musik yang beraliran slow rock. Sayup-sayup terdengar lagu “Cat Size” dari penyanyi rocker wanita yang bertubuh mungil tapi kekar, Suzi Quattro !

Jalan tol sepanjang 44 km dilibas LIMAS dalam waktu setengah jam saja.

Aku segera turun di depan Kodam Jaya (situasinya masih persis seperti saat ini, hanya jalan di depan Kodam waktu itu masih agak sempit). Aku menyeberang jalan untuk menunggu bis jemputan Mercedez Benz OH-11 warna krem dengan cat biru muda bertuliskan BPP Teknologi. Beberapa teman BPPT sudah menunggu di depan Kodam, ada Prasetio yang alumni Mesin ITB, ada alm. Pak Todo Tambunan (almarhum) yang alumni Jerman, ada Petrus Panaka yang alumni Elektro ITS, ada Moh. Basri yang alumni Elektro ITB, dan yang paling mencolok ada orang yang namanya Tito yang kulitnya putih, pakai baju biru dari bahan combed cotton, dan celana kaki berbahan katun.

Sebelum naik bus, saya beli koran KOMPAS dari anak asongan yang lewat. Koran Tri, Koran Tri, seru Petrus dan O ya, ada Anton Gunarto teman sekelas kakak saya Endang dari Agronomi IPB. Kompas halaman pertama saya baca, halaman kedua dibaca Petrus, dan halaman ketiga dibaca Anton. Sejak itu, bis yang AC-nya cukup dingin itu berjalan pelan menyusuri Jl. Otista, belok kiri di Jalan Diponegoro sebelah FKUI, masuk Jalan Imam Bonjol, dan belok kanan di bunderan HI, dan akhirnya sampailah kita di kantor, tepat pukul 07.10 (kadang-kadang kami bertemu dengan alm. Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menyopiri sendiri Jeep Toyota Land Cruiser canvas warna hijau muda).

Masih ada 20 menit sebelum kantor dimulai jam 07.30. Sepanjang perjalanan tadi, semuanya tidur atau baca koran, tapi yang namanya Tito itu ngomong terus, ada atau tidak ada yang ngajak ngomong (I will tell you later, belakangan Tito yang dipanggil “Tanpa Input Tanpa Output” juga menjadi dosen Binus. Bahkan anaknya yang bernama Adit menjadi mahasiswa bimbingan skripsiku. Anaknya secara fisik dan sifat persis dengan bapaknya, dan secara sadar ia menyebut dirinya “Kenthir“. Klop !).

Setelah mengisi absen model ceklok merk AMANO, aku segera naik ke Lantai 5. Waktu itu aku didapuk sebagai ahli statistik untuk Studi Pengkajian Sistem Pedesaan Indonesia. Tugasnya mengajari staf lain dalam merancang pengambilan sampel dan menganalisis data berdasarkan teknik statistik, baik deskriptif maupun inferens.

Satu ruang berukuran 6 x 8 meter waktu itu diisi dengan 13 orang staf. Kepala Studinya adalah Prayitno Ramona, alumnus FISIP UI. Anggota studinya beberapa dari IPB : Iding Chaidir (Perikanan), Yanto Tatang Raharja (Peternakan), Sulaefi (Agronomi), Anton Gunarto Prajawisastra (Agronomi), Soleh Iskandar (almarhum, HPT), Suryo Handoto (Mekanisasi), Hariadi Wardi (Tanah) dan saya sendiri (Statistik). Yang dari UI ada Prayitno Ramona (FISIP), Dwi Yani (FISIP, anaknya Jendral A. Yani), dan ada beberapa orang UI lagi yang mulai akan keluar. Lalu dari UGM ada Sri Rudatin alias “Mbak Tenong” (Arsitek, putranya Prof. Gembong), Maryadi (Agronomi). Lalu ada Jane – cewek bule manis yang bekerja sebagai Senior Scientist. Satu lagi Senior Scientist adalah Dr. Manase Mallo (belakangan menjadi Dekan FISIP UI).

Di waktu jam istirahat, aku membaca kembali koran KOMPAS yang aku beli tadi. Tiba-tiba mataku tertuju pada iklan “LOWONGAN DOSEN, DIBUTUHKAN TENAGA DOSEN PARUH WAKTU UNTUK MATA KULIAH MATEMATIKA, STATISTIKA”. Yang memasang iklan adalah AKADEMI TEHNIK KOMPUTER (ATK), Jl. Cideng Timur, Jakarta Pusat.

Segera saya draft surat lamaran secara sembunyi-sembunyi untuk saya poskan nanti sore sesampainya di rumah di Bogor. O ya, waktu itu aku memutuskan tetap tinggal di Bogor semenjak aku lulus dan kerja di Jakarta. Bogor serasa dingin, dengan pohon-pohonnya yang besar dan rindang, dan hampir setiap hari hujan. Sedangkan Jakarta serasa berdebu. Aku akan tinggal di Jakarta setelah menikah, pikirku.

Sorenya, surat lamaran dosen untuk ATK aku kirimkan via Kantor Pos Besar Bogor yang letaknya persis di tepi Kebun Raya itu. Jarak kantor pos dengan pohon besar yang setiap siang digelayuti oleh ratusan kalong itu kira-kira hanya 50 meter. Setelah malam, tentu kalong kalong itu pada cari makan buah-buahan entah dimana.

Singkat kata, seminggu kemudian di rumah kostku di Jalan Belitung ada surat tiba. Dari ATK. Wah, mudah-mudahan aku diterima, doaku. Isinya undangan untuk wawancara, ditandatangani oleh Direktur ATK, Ir. Th. Widia S.

Sebelumnya aku ingat, bahwa secara nama aku sudah kenal dengan Th. Widia ini karena aku pernah beli dua buah buku karangannya berjudul “Pemrograman COBOL Jilid I dan Jilid II “yang berwarna biru dan orange, langsung di tempat kursus MCC (Modern Computer Course) Jl. Makaliwe.

Siang itu, tanpa kesulitan saya bisa menemukan rumah yang dituju di Jl. Cideng Timur. Rumah ini rumah biasa bertipe 100 dengan arsitektur akhir tahun 1950an. Tidak terlalu bagus, tapi lumayan. Jaraknya dari jalan raya sekitar 20 meter masuk ke dalam. Saya mengetok pintu, dan ditemui oleh seorang laki-laki. Badannya kekar, tingginya sekitar 170 cm, dan kelihatannya ia atlet, berumur sekitar 25 tahunan, orangnya cukup ganteng – mungkin seperti Ju Mong di film Korea yang dilihat isteri saya barusan.

“O, ini Pak Tri Djoko ya”, sapanya.

“Ya Pak”, jawab aku.

“Bapak Pak Ir. Th. Widia ya ?”, tanyaku spontan.

“O bukan, Th. Widia itu Ibu, bukan Bapak”, katanya.

“Nama saya Carmelus”, tambahnya.

(terus terang aku agak tersipu-sipu salah nebak, kirain Th. Widia tuh cowok !)

Singkat kata, aku diwawancara dan ditanya pernah mengajar Statistika atau tidak.

Pernah, aku jawab saja begitu, karena minimal aku pernah jadi asisten dosen, walaupun mata kuliah Ekonomi Mikro dan Biologi. Tapi, sedikit berbohong asal tujuannya baik kan berpahala, pikirku. Sewaktu Pak Carmelus nanya apakah aku mau mengajar Matematik atau Statistik, aku milih Statistik saja karena itu memang bidang ilmu saya.

Dua minggu setelah itu, jadilah aku dosen Statistika di ATK, yang kuliah pertamanya dimulai awal September 1982. Aku jadi dosen angkatan kedua (dicirikan dengan nomor kode dosen D02xx), dan menjadi dosen ke-10 di ATK.

Lainnya adalah dosen Matematika seperti Pak Wikaria Gazali (kemudian menjadi Dekan MIPA), Pak Gerald Polla (kemudian jadi Rektor UBinus), Pak Sudadi Atmojo (dosen Matematika), dosen Pancasila seperti Pak Suprapto dan Pak Menara Simanjuntak, dosen Bahasa Inggris seperti Ibu Devi Pitono (isteri dr. Pitono, dokter resmi UBinus), dan Ibu Inneke (kemudian menjadi Dekan Sastra), dosen Pemrograman seperti Pak Tri Pujadi, Pak Agus Prahono dan Pak Yusrizal Oenzil, serta alm Pak Winokan yang ngajar Etika (beliau “Godfatther” atau Bapak baptisnya Ibu Th. Widia).

Ruang dosennya berukuran 6 x 10 meter, yang didalamnya diisi oleh Ibu Th. Widia selaku Direktur ATK dan Pak Carmelus selaku Wadir Bidang Akademis, lalu ada Pak Efendi (sekarang Koordinator Fotocopy Binus – Kampus Syahdan) yang menangani tata usaha/gaji, dan beberapa dosen lainnya.

Kita semua menempati ruang yang sama. O ya, di tahun 1982 jumlah mahasiswa ATK adalah 200 orang (bandingkan di tahun 2008 sekarang, jumlah dosen Binus ada sekitar 2,000 orang dan jumlah mahasiswa sekitar 30,000 orang, berarti ada kenaikan sebesar 150 kali dalam waktu 26 tahun !!)..

Rupanya ada hal yang menggembirakan dan yang kurang menggembirakan dari mengajar di ATK ini. Yang menggembirakan, the pay is OK. Aku mengajar 2 sks dan setiap sks diberi honor Rp 9.000 (USD 21) dan setiap 2 sks diberi uang transpor Rp 3.000 (USD 7.5). Jadi, total honorku sebulan adalah 4 x Rp 21.000 = Rp 84.000 (USD 200). Not bad, karena ini sudah sekitar 1/3 gajiku di BPPT yang sebesar USD 600.

Yang kurang menggembirakan, rupanya ATK ini masih menyewa gedung bertingkat tapi letaknya di sayap belakang dari gedung utama yang berbentuk L, di Jalan Kyai Tapa yang letaknya persis di samping Pompa Bensin. Jumlah ruang kelasnya ada 2, masing-masing berukuran 10×12 m2 yang disesaki dengan 120 mahasiswa yang semuanya bermimpi jadi programmer komputer yang handal.

Ruang kelas dan ruang administrasinya sih ok di lantai 3, tapi kamar mandinya di lantai 2 sangat bau dan kita sebaiknya tidak usah kebelet supaya sepatu kita tidak tertempeli dengan bau-bauan yang baunya berbanding terbalik dengan parfum Chanel No. 5 itu.

O ya, satu lagi. Jika aku sedang ngajar Statistik, ada satu staf administrasi Binus yang namanya Supardi Laesa (alias ”Pak Brewok”, sekarang staf akademis Kampus Anggrek), yang selalu mendengarkan aku memberikan kuliah.

Aku datang ke Binus sekitar jam 17.15 kadang naik bis jemputan BPPT yang jurusan Grogol/Kebun Jeruk. Atau kadang-kadang menaiki sepeda motor Honda Bebek 70 cc-ku yang berwarna merah.

Waktu itu Mal Taman Anggrek masih belum ada, yang ada Kebun Anggrek. Slipi masih berupa bunderan, dan Pancoran juga masih berupa bunderan (round-about). Dan sejak menikah di bulan Oktober 1982 aku dan isteri tinggal di rumah kontrakan di Jl. Almunawar (dekat mesjid Almunawar), persis di belakang Kompleks Triloka Mabes TNI-AU Pancoran.

(Bersambung)