Guru dan “guru”

Di kebudayaan India, guru yang diartikan “orang yang tahu segalanya” dipandang sebagai posisi yang tertinggi. Bahkan di kalangan para ahli komputer yang sering menggunakan sistem operasi open system umumnya dan khususnya UNIX, jika ada trouble pasti muncul pesan “consult a guru”…atau tanyalah guru anda. Jadi, guru juga sudah menjadi kosakata bahasa Inggris (American) yang baku…

Kebetulan saya terlahir ke dunia ini dari bapak dan ibu yang keduanya bekerja sebagai guru. Bila ibu saya dari awal karier sampai puncak kariernya bekerja sebagai guru SD, maka bapak saya yang pernah menjadi pejuang kemerdekaan selepas Perang kembali mengajar, dari SD di Wayut, SMP di Walikukun, SMA C Madiun (SMA 2), dan terakhir sebagai Dosen IKIP Malang Cabang Madiun, dan sewaktu meninggal bapak masih bekerja (belum pensiun) sebagai guru SPG (Sekolah Pendidikan Guru)..

Jadi, masalah pekerjaan guru saya tahu sejak lahir karena kedua orangtua saya adalah guru. Sejak kecil mungkin masih menyusu, saya sudah dikenalkan oleh pekerjaan ibu saya sebagai guru yang pekerjaannya sering dibawa ke rumah. Dan kelihatannya bekerja sebagai guru ini asyik, santai tapi penuh dedikasi. Apalagi di jaman pasca kemerdekaan dulu walau ibu dan bapak saya digaji f 2,- (2 gulden, 2 guilder) tapi buktinya bisa membangun rumah yang cukup besar di kota tempat saya melewatkan masa kecil saya dulu…

Maka tak heran, kami tiga bersaudara mengikuti jejak bapak dan ibu kami sebagai guru. Kakak perempuan tertua walaupun resminya kerja di sebuah bank plat merah tapi menurut ceritanya lebih asyik mengajar calon pejabat bank di lembaga pendidikan bank tersebut. Kakak perempuan kedua, benar-benar kerja asli, 100%, sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi plat merah di Semarang. Sedang saya sebagai anak laki walaupun resminya bekerja sebagai peneliti di sebuah lembaga penelitian plat merah di Jakarta, tapi mempunyai pekerjaan sambilan sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta Barat..

Dibesarkan oleh kedua orang tua yang berprofesi sebagai guru, saya juga sudah hapal apa etika dan norma yang harus dipunyai oleh seorang guru, yaitu : jujur, bekerja keras, bersemangat mengabdi,bersemangat memotivasi, dan tidak pernah mengeluh. Walaupun pada tahun 1960an dan 1970an (sebelum 1973) gaji guru hanya cukup untuk makan, kadang-kadang malah tidak cukup, tapi orangtua tidak pernah mengeluh. Kalau punya beras, ya menanak nasi. Kalau tidak punya, ya makan jagung, bulgur, atau beras TEKAD (singkatan Teknik Angkatan Darat, sebenarnya ketela yang dibentuk seperti bulir beras). Kalau sama sekali tidak punya uang, ya utang di warung Bu Marmi yang terletak 1 blok dari rumah saya…dan membayar nanti waktu gajian. Jika sudah ada nasi tapi nggak punya lauk, maka Bapak akan pergi ke Koperasi Pegawai Negeri yang terletak di bawah Watertoren kota kami, untuk mengutang ikan tengiri asin. Mengenai sayur bayem, kangkung, dan berbagai macam buah seperti pisang, jambu, jeruk, belimbing, surikaya, semuanya sudah ada di kebun kami dengan jumlah melimpah dan tinggal petik…

Dan kehidupan guru walaupun “linear” dan begitu-begitu saja, buktinya kedua orangtua saya bisa menyekolahkan kami bertiga ke sebuah pendidikan tinggi ternama di kota Bogor sampai selesai. Nah, setelah selesai kehidupan dan penghidupan kami ditanggung sendiri : beli rumah, beli kendaraan (bila mampu)..

Dan..itu juga menurun kepada kami bertiga yang putra-putri guru dan berprofesi baik langsung maupun tidak langsung ini sebagai guru. Bisa beli rumah walau mencicil, bisa beli kendaraan walau harus menahan nafas selama 5 tahun, dan karena kami sendiri guru kami punya banyak waktu mengajari anak-anak kami sehingga sampai perguruan tinggi negeri ternama di kota Jakarta, Bandung, dan Semarang. Kami juga membiarkan anak-anak kami untuk mencari hidup dan penghidupannya sendiri, tanpa banyak bantuan orang lain…berdikari, berdiri di atas kaki sendiri, yang menurut istilah sekarang disebut “mandiri” tapi sering dipelesetkan sebagai “mandi dan cuci sendiri” itu…

Mengapa saya memberi judul posting ini guru dan “guru”, apa bedanya ?

Beda, guru adalah pengajar dengan pengertian jaman dahulu : jujur, sederhana, pantang mengeluh, pantang menyerah, berdedikasi. Sedangkan “guru” adalah pengertian pendidik jaman sekarang yang BELUM TENTU mewarisi sifat seperti guru di jaman dahulu…

Guru di jaman sekarang, terutama setelah era reformasi, sukanya melakukan demo. Demi kebebasan tanpa batas yang ditelurkan oleh era reformasi. Demo untuk meminta kenaikan gaji, demo untuk meminta diangkat sebagai pegawai negeri, bahkan demo terhadap penguasa ! Saya tidak mengatakan hal-hal tersebut tidak pantas dilakukan oleh seorang guru. Toh, guru juga manusia biasa. Kata Candil dari The Serious “Guru, juga manusia” jadi bisa lapar, haus, marah, dengki. Jadilah guru berdemo. Tapi tidak akan saya sebut sebagai guru lagi (tanpa tanda kutip), tapi sebagai “guru” (dengan tanda kutip). Karena guru adalah guru seperti definisi awal tadi, yang jujur, berdedikasi, dan seterusnya. Mungkin alam hedonis atau mendewakan material seperti jaman sekarang ini yang membedakan guru dengan “guru”..

Hubungan guru dengan pemerintah juga cukup unik dan berubah terus, sesering nama departemen pemerintah sebagai “boss” para guru. Dulu namanya Departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan), kemudian berubah menjadi Departemen P&K (Pendidikan dan Kebudayaan, alias Depdikbud…sehingga pernah muncul di pojok Kompas istilah “Dirjenbud Depdikbud dag dig dug”..), dan terakhir berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)..

Dahulu kala di tahun 1980an, Depdikbud mewajibkan setiap guru dan dosen mengurus sertifikasi yang disebut Akta I, II, III, IV, dan V. Akta V dikhususkan untuk dosen, dan bagi dosen yang tidak memperoleh sertifikasi Akta V tidak akan naik pangkatnya dan tidak boleh mengajar. Celakanya, prosedur sertifikasi Akta V mungkin waktu itu berbelit-belit sehingga Dr. Dorojatun Kuncorojakti dari UI, Dr. Sofian Effendi dari UGM, dan yang lain-lain walaupun dosen berbobot lulusan luar negeri (Ph.D) tapi toh gagal memperoleh Akta V dan oleh karena itu pangkatnya tidak bisa naik dan sangat terlambat untuk jadi Profesor, padahal secara kualitas semestinya tidak boleh dipertanyakan lagi..

Dua puluh tahun kemudian, Depdiknas juga mempunyai program serupa yang disebut Sertifikasi guru dan dosen. Tapi pemberian sertifikasi didasarkan kepada kuota (mungkin karena masalah dana jika tidak diterapkan kuota), akibatnya setiap hari di halaman-halaman surat pembaca di koran-koran timbul banyak komplain tentang Sertifikasi ini. Misalnya, ada guru senior yang sudah menunggu lama tapi belum disertifikasi, dan antriannya urut kacang (urut, tapi tunggu gilirannya lama). Sertifikasi dosen juga sami mawon. Dosen yang sudah mempunyai JJA (Jabatan Jenjang Akademis) juga masih harus ikut proses sertifikasi, dan sertifikat ini nantinya yang digunakan untuk semacam SIM (Surat Izin Mengajar) dan celaka bagi yang tidak memilikinya, karena tidak boleh mengajar dan tidak mendapat tunjangan mengajar..

(Sssst…di slip gaji terakhir yang saya terima dari universitas tempat saya mengajar, tunjangan JJA saya menerima 2 kali karena ditulis dalam 2 baris yang berbeda dengan jumlah angka yang sama, apa yang satu berupa tunjangan JJA dan satu lagi tunjangan sertifikasi ? Padahal saya belum tersertifikasi lho…)…

Masalah lainnya atau alasan lainnya mengapa saya membedakan antara guru dan “guru” dalam judul posting ini, karena bagi saya keduanya sangat berbeda….

Guru adalah dosen yang tidak peduli jenjang pendidikannya (bisa S1, S2 atau S3), tapi yang bersangkutan punya kemampuan sebagai Guru dalam arti yang saya sebut di dalam sistem operasi UNIX di paragraf pertama yaitu “orang yang serba tahu atau orang yang mempunyai pengetahuan yang tidak terbatas”..

Sedangkan “Guru” adalah orang yang jenjang pendidikannnya cukup tinggi atau sesuai dengan tingkatan dimana ia boleh mengajar, tapi sebenarnya secara kualitas belum sesuai dengan hebatnya gelar yang telah disandangnya alihan “keberatan gelar” dan secara kua teknik dan kua pengalaman, belum sehebat dengan Guru (tanpa tanda petik) tadi…

Celakanya, banyak sekolah atau universitas yang tidak bisa membedakan apa beda Guru dan “Guru”, jadinya “Guru” dipercaya sebagai pengajar dengan disertai harapan yang tinggi dan kurang memperhatikan Guru tadi, padahal kua teknik dan kua pengalaman, Guru lebih baik daripada “Guru”..

Saya termasuk yang mana ?

Ah, saya tidak termasuk yang mana-mana. Saya hanyalah orang biasa, kebetulan kedua orangtua saya guru, dan saya senang mengajar, itu saja.

Mungkin saya ini guru, dalam pengertian “wagu dan kuru” (weird and slim)…

Eh, enggak ding, saya gemuk kok…hehehe…

{tulisan ini saya dedikasikan kepada beberapa guru yang saya tahu suka membaca blog ini}

7 Comments (+add yours?)

  1. rumahagung
    Apr 14, 2009 @ 23:39:23

    wah…
    Bapak itu guru kok buat saya,
    spy saya nantinya jadi dosen,
    bukan jd “dosen”.
    hehehehehe..!!

    Hehehehe…..;-)

    Reply

  2. _subhan_
    Apr 15, 2009 @ 08:49:30

    pantang mengeluh, tp klo pemerintah/ atasannya gag tw diri/ sewenak-wenak e kpd (guru or”guru”) wajar toh pa nge demo πŸ˜€ pa lagi di jakarta. :))

    tapi klo mahasiswa lebih suka dapet “dosen” dari pada dosen, kt nya “dosen” lebih baik pak ngasih nilai dari pada dosen.

    πŸ˜€

    Subhan,
    Sebenarnya pemerintah tuh nggak jelek-jelek amat sih. Semua itu (mis. peningkatan kesejahteraan guru) sebenarnya sudah diusahain, tapi ya memang birokrasi pemerintah kan tidak tiba-tiba muncul hasilnya, perlu diikuti prosedurnya. Dan to tell you the truth, di pemerintahan itu dari punya ide sampai keluar duwitnya itu perlu waktu….2 tahun !!!!

    Lha, kalau guru atau “guru” nya nggak sabar, kan bisa demo terus tiap hari…tapi kalau hasilnya nggak segera keluar, buat apa pula demo ?

    Hehehe…anda lebih senang “dosen” ya daripada dosen. Kalau begitu, kayaknya saya masuk golongan “dosen” ya ?

    Hahaha…

    Reply

  3. tutinonka
    Apr 15, 2009 @ 13:32:00

    Pak Tri, apa kabar?

    Saya juga guru, dan kebahagiaan utama saya adalah kalau mahasiswa lulus dengan nilai bagus. Tapi realitanya, saya sering merasa gagal karena hasil ujian mahasiswa ternyata buruk. Saya kadang nggak habis pikir, lha wong materi sudah saya berikan semua dalam bentuk bahan kuliah yang tinggal dikopi, contoh soal sudah dikerjakan di kelas, lha kok ujian nggak bisa. Berarti saya yang nggak bisa ngajar ya?

    Kalau sudah begitu, saya kadang pengin berhenti saja jadi guru …. ihiks … πŸ˜₯

    Bu Tutinonka,
    Wah…sudah turun dari pertapaan di gunung Bu ?…hehehe….;-)

    Iya Bu, pasti ibu sebagai dosen sedih minimal menyesal mengapa mahasiswa tidak bisa mengerjakan soal. Tapi kalau kembali diingat dengan jujur mengapa begitu, mungkin bisa sedikit menghibur ibu…

    UII itu kan universitas tuopppp bangettt bu kalau di Yogya sih, mungkin PTS setara topnya dengan Trisakti di Jakarta, Unpar di Bandung, atau Petra di Surabaya. Sebagai universitas top, tentunya dosennya juga tuooop markotob, kayak Bu Tuti ini. Tapi di lain sisi, mahasiswa yang masuk ke UII (intake nya) mungkin dari tahun ke tahun mutunya menurun terus, maklum univ bagus macam UI, ITB, dan UGM sudah membuka “pintu belakang” sehingga mahasiswa biasa-biasa saja asalkan kantongnya luar biasa, boleh masuk. Nah, pasar UII, Trisakti, Parahyangan, Petra akhirnya tergerus oleh PTN-PTN itu, akibatnya yang masuk UII mutunya semakin turun, boleh dibilang kelas III atau KW III (kelas I = masuk PTN lewat SPMB, kelas II = masuk PTN lewat pintu belakang, kelas III = kelasnya mhs UII, Trisakti dsb, kelas IV = kelasnya mhs Binus dsb..)..

    Di sisi lain juga, ibu ngajar di jurusan Teknik Sipil. Lha wong saya saja yang tergolong pinter (cieee..cieee… ngakunya) dulu di akhir 1975 saja masuk Teknik Sipil UGM nggak bisa kok. Jadi Teknik Sipil itu ilmu yang sulit lho Bu, terutama MekTek I s/d V yang sulitnya ngaudzubillah itu. Tapi kalau Ibu ngajar GamTek atau IlmuBahan dan mahasiswa nggak ngerti, lha itu kebangeten..

    Terus, secara statistik kemampuan mahasiswa di kelas itu menyebar secara normal (jika jumlah mahasiswa > 30), jadi pasti ada yang puinteer banget, puinteeer, sedeng, kurang, dan yang kebangueteeen… itu sudah resiko dari populasi yang terdistribusi secara normal…

    Gitu lho Bu, menurut saya mahasiswa yang nggak bisa menjawab soal ujian Ibu, itu sudah “destiny” mereka. Dan kepada mahasiswa saya sering saya katakan “Hey ketahuilah kalian, nanti kalian yang pinter paling berakhir jadi dosen, sedangkan yang tidak pinter justru bisa menjadi pengusaha sukses. Oleh karena itu, ketahuilah wahai mahasiswa, jangan sedih kalau kalian tidak pinter”…

    Hehehe…hopo tumon ?

    Reply

  4. yuana
    Apr 15, 2009 @ 19:33:15

    Pak Tri, saya nggak pernah bosan baca postingan Pak Tri. O ya, mohon ijin saya link blog Bapak di link blog saya jadi saya lebih mudah akses ke blog Bapak.

    Membaca postingan Bapak yang ini saya jadi mengingat-ingat apa yang saya lakukan dalam keseharian pekerjaan saya. Sambil menimbang-nimbang saya masuk kategori yang mana ya, guru atau “guru”.

    Ternyata saya tidak berani menyebut diri saya guru, meski saya tak pernah berdemo minta kenaikan gaji, tak pernah menuntut segera diikutkan serifikasi. Juga tidak pernah menuntut diangkat menjadi pegawai negeri. Alhamdulillah saya lulus ujian PNS ketika se propinsi hanya dibutuhkan 2 guru untuk mata pelajaran saya, dan saya lolos tes tanpa kolusi.

    Bu Yuana,
    Monggo aja Bu kalau blog ini mau di-link…

    Wah…dari cerita Ibu, Ibu jelas-jelas seorang guru, bukan “guru”. Mudah-mudahan 10, 20 tahun kemudian Ibu tidak mereduksi diri dari guru menjadi “guru”. Tetaplah menjadi guru yang baik….

    Tapi jika sekarang ini saya adalah “guru” semoga saya akan menjadi guru. Mohon doanya, Pak ..

    Reply

  5. tutinonka
    Apr 16, 2009 @ 20:45:03

    Alinea terakhir reply Pak Tri membuat saya ngakak πŸ˜€ πŸ˜€ Yang pinter jadi dosen, yang nggak pinter jadi pengusaha sukses … Lha kalau yang jadi politisi, yang sekarang jumpalitan memperebutkan negara, itu masuk yang mana Pak?

    Saya ngajar Kalkulus Pak, differensial-Integral. Lha kalau sudah sampai ke differensial multiple dan Integral lipat 2&3, mahasiswa kelihatannya sudah blank. Padahal integral lipat itu kan aplikasinya jelas, untuk ngitung panjang, luas, volume, titik berat, dll, artinya lebih bisa dibayangkan, tidak abstrak lagi seperti integral tak tentu.

    Hehe … iya Pak, ini turun gunung sebentar, nginguk rumah dan para tetangga …

    Bu Tutinonka,
    Yang akan jadi politisi itu yang dari awalnya sudah melakukan “denial”, melakukan sesuatu (mis. ngentut) tapi nggak mau ngaku. Tega “makan tulang kawan”, dia nyuruh temannya untuk melakukan apa saja dan bila positif dia yang akan mengambil kreditnya, bila negatif dia tinggal bilang “It’s not me !”. Dia berani menjelek-jelekkan orang bila orangnya tidak ada, dan bila orangnya ada mukanya berubah menjadi manis sekali. Dia suka bercerita panjang lebar tak peduli apa orang lain mendengarkan apa tidak. Dia suka menggerak-gerakkan tangannya secara berlebihan seolah kalau tangannya “disuruh diem” diapun nggak bisa ngomong lagi….dst…dst…

    Wah…Kalkulus memang mata kuliah maut buat yang nggak suka Bu. Lha wong differential dan integral satu aja nggak abis kok ngerjainnya alias kagak bisa, mosok mau lipat 2 atau lipat 3, wah…hati mahasiswa itu bisa seperti dilipat-lipat…hehehe….

    Reply

  6. alris
    Apr 18, 2009 @ 23:47:45

    Saat ini saya sedih juga tidak bisa jadi guru dalam terminasi pro pemerintah, padahal saya lulusan institusi yang menghasilkan tenaga guru sampai akta IV. Awal lulus saya nantikan penerimaan untuk jadi “cik gu” dengan semangat prajurit baru lepas dari kawah candradimuka. Ditunggu beberapa periode penerimaan ternyata tenaga yang dibutuhkan tidak sesuai jurusan saya. Maka saat itu tamatlah cita-cita saya untuk jadi pahlawan tanpa tanda jasa dan harapan orang tua menyaksikan anak kebanggaannya menjadi orang yang dihormati. *waktu saya kecil dikampung guru bener-bener dihormati dan merupakan profesi yang mulia. banyak anak guru tamatan perguruan terkenal dinegeri ini menjadi semacam motivasi bagi keluarga di kampung saya untuk mendorong anaknya jadi guru* Juga ikut amblas manfaat bantuan beasiswa supersemar yang saya nikmati selama setahun, gimana gak amblas beasiswa itu seharusnya penerimanya diarahkan untuk jadi cik gu. Setidaknya almarhum Bapak saya masih bisa menyaksikan adik bungsu saya jadi guru smu di kampung. Syukur dia lulus ujian penerimaan pns guru tanpa neko-neko, tanpa kolusi.
    Akhirnya terdamparlah disekolah kehidupan yang sebenarnya di kakilima jalan kh. mas mansyur, tanah abang, itulah awal saya di jakarta. Sekarang cita-cita saya jadi guru semakin kabur seiring dengan makin pekatnya udara jakarta.

    Pro bu Tuti :
    Ngajar kalkulus, cool. Saya belajar kalkulus sewaktu mata kuliah matematika, hanya bagian dari matematika. Secuil itu saja saya sudah ampun-ampunan bu, hehehe…

    Uda,
    Siapa tahu sebenarnya destiny anda adalah jadi guru, tapi mungkin Uda kurang sabar saja menunggu kesempatan…

    Reply

  7. simbah
    Apr 26, 2009 @ 23:40:26

    Dik Yon,…pendapatku, “Guru” dan Guru ada beberapa perbedaan yang mendasar. “Guru” selain sebagai mata pencaharian, adalah panggilan jiwa, minat dan bakat. Pengorbanannya sungguh tak ternilai, saya bisa merasakan beberapa Bapak/Ibu guru kita dulu. Salah satu contoh, kalau mengajar, anak didiknya segera dapat menangkap dan mengerti apa yang beliau sampaikan, disamping itu ada bonus, istilah sekarang, tentang ilmu urip, tindak tanduk, tingkah laku dan bermacam-macam etika hidup. Meski kehidupan selalu pas, tapi tidak pernah neko-2 untuk bertindak keluar rel.
    Sedang Guru yang lain, tanpa tanda kutip, karena tidak ada profesi lain dan hanya itu yang beliau dapat. Yah mulange yo aras-2 en, asal memenuhi target kurikulum yo uwis..malah kadang-2 muridnya jadi pelampiasan kekecewaannya….Saya pernah menemukan salah satu Guru seperti ini, sewaktu masih tinggal di Jakarta…

    Simbah,
    Ya,,karena kita berdua punya orangtua guru, maka mungkin kita punya gambaran kayak apa sih guru yang ideal itu ? Ya..kayak bapak-ibu kita dulu itu, yang notabene adalah guru…

    Yang mengajar dengan sepenuh dedikasi. Yang tidak mengharapkan imbalan dari negara yang macem-macem, apalagi mengharapkan imbalan dari si murid sendiri (lha..kalau setelah kenaikan kelas si orangtua murid ngirim setandan pisang atau sebuah ingkung ayam, lha itu yang namanya rejeki)..

    Guru jaman sekarang, utamanya yang hidup di kota-kota besar, sudah ikut-ikutan para muridnya dengan bersikap lebih berorientasi ke materi daripada ke arah spiritual, yang semestinya menjadi “marwah” orang yang berprofesi sebagai guru…

    Reply

Leave a comment