mBah nDagangan

Kalau dirunut asal-usul saya, bapak saya dilahirkan di desa Pintu, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun. Sebuah desa yang cukup strategis terletak sekitar 2,5 km di sebelah timur Pabrik Gula Pagotan. Di jaman dulu, sewaktu masih ada jalur kereta api uap Madiun-Ponorogo yang lokomotifnya digerakkan oleh uap dan gerbong-gerbongnya banyak terbuat dari kayu, yang satu rangkaian kereta apinya terdiri dari 1 lokomotif dan 4 gerbong, saya sering diajak Ibu saya mengunjungi mbah atau eyang saya dari pihak Bapak ke desa Pintu ini. Tapi kami waktu kecil sering menyebutnya desa Dagangan, maka mbah putri dari sini kami sebut “mbah nDagangan”..

Maka, ketika beberapa hari yang lalu saya kenal dengan seorang pengemudi dari kantor client yang ternyata juga berasal dari desa Pintu, dan ajaibnya ia mengetahui semua keluarga saya, maka sayapun ditanya, “Jadi, nama eyang Bapak itu siapa ?”. Sayapun kamisosolen (numb), tidak bisa menjawab. Maklum, dari kecil kami tidak dibiasakan menghapal nama-nama eyang atau mbah kami, dan kamipun suka menggantinya dengan mbah diikuti dengan nama daerah, seperti menyebut mbah nDagangan itu. Kalau kami tinggal di Amrik dan mbah kami tinggal di Springfield, Illinois pasti kami akan menyebutkan “mbah Springfield” dan bukan “mbah Harjosuwito” atau mbah “Sarah McCallahan”…

Begitupun, mbah dari pihak Ibu yang tinggal di desa Rejosari, Kec. Nglames (benarkah ?), kami menyebutnya dengan “mbah Rejosari”. Desa Rejosari ini sekitar 7 km ke arah barat-utara dari Pabrik Gula Rejoagung. Ketika saya masuk SD, baik mbah dari pihak ayah dan mbah dari pihak ibu keduanya tinggal mbah putrinya saja…

Baik rumah mbah nDagangan maupun mbah Rejosari tentu terbayang jelas bagi saya. Rumah mbah nDagangan terletak di hoek (pinggir) dari pertigaan jalan raya Dagangan yang membujur barat-timur dengan sebuah jalan kecil ke arah selatan, kira-kira 1 blok di sebelah timur Pasar Dagangan, dan kira-kira 1 blok di sebelah barat sebuah sungai, yang pada waktu saya kecil banyak ikan lele, ikan kutuk (ikan gabus), ikan wader, ikan sepat, ikan sili, dan juga udangnya. Rumah mbah nDagangan berarsitektur kayu dengan banyak ukiran di sana-sini. Layaknya rumah jaman dahulu, di bagian depan ada pendapa untuk menerima tamu. Di tengah pendapa ada satu meja marmer dengan kayu jati sebagai kerangkanya. Dikelilingi empat kursi kayu jati yang diukir tidak terlalu mencolok. Lalu di ruang tengah ada ruang keluarga, tempat keluarga berkumpul mengobrol di waktu sore dan malam. Di belakang ruang keluarga ada “sentong” yang difungsikan sebagai kamar tidur. Tapi juga ada “sentong” yang difungsikan sebagai penyimpan bahan makanan seperti beras dan jagung (waktu itu tikus masih jarang adanya). “sentong” kiri kanan dari ruang keluarga juga difungsikan sebagai kamar tidur. Di luar rumah ada semacam “pavilyun” atau “gandok” yang berfungsi sebagai dapur yang di belakangnya ada sumur dan kamar mandi serta WC-nya (di jaman Belanda dulu, kamar mandi dan WC biasanya di 2 ruang terpisah, mungkin untuk alasan higienis).

Di blok yang sama dengan rumah mbah nDagangan, ada rumah Bu Puh atau Bu De saya yang hanya tinggal berdua dengan Pak Puh. Seperti yang tadi, rumah Bu Puh juga terbuat dari kayu, tapi di rumah Bu Puh penyekat ruangan terbuat dari kayu jati berukir sepanjang sekitar 12 meter yang disebut “gebyog”. Kata mas sopir tadi, keluarga saya dipandang sebagai keluarga terpandang di kampung, mungkin karena alasan “rumahnya di pinggir jalan” saja…

Konon mbah Kakung saya dulu berprofesi sebagai “pandai besi” (iron smith) di desa Sewulan, yang merupakan desa tetangga di sebelah utara dari desa Pintu. Desa Sewulan ini kalau di Madiun terkenal sebagai desa pusatnya kerajinan besi karena semua pandai besi yang panasnya digerakkan oleh kipas yang dipegang naik turun. Selain itu, desa Sewulan juga terkenal sebagai “desa Kyai” karena banyak sekali kyai dan pesantren yang terletak di desa ini. Mungkin dari mbah saya yang berprofesi sebagai pandai besi ini saya menuruni sifat sebagai seorang perekayasa alias insinyur…

Konon pula, mbah saya dari pihak Ibu yaitu mbah Rejosari dulunya berprofesi sebagai petani. Tanah beliau masih ada di sebelah selatan sarean (makam) di desa Rejosari pada waktu saya masih kecil. Biasanya tanah beliau ini dijadikan sebagai tanaman tebu, dengan cara disewa oleh Pabrik Gula Rejoagung selama 18 bulan dan sebagai imbalannya diberi uang sewa per bulan dan beberapa karung gula di akhir masa giling.. Dari pihak mbah dari pihak ibu ini barangkali saya menuruni sifat sebagai seorang ahli pertanian alias insinyur…

Di Amerika sekalipun, sebuah universitas di tahun 1780-an sampai 1890-an biasanya didirikan dengan  2 fakultas utama di dalamnya yaitu “Agricultural” (Fakultas Pertanian) dan “Mechanical” (Fakultas Teknik). Makanya banyak universitas yang nama di belakangnya ada sebutan “A&M” misalnya yang paling terkenal adalah “Texas A&M” di kota College Station, di negara bagian Texas sana. Kalau nggak salah, yang lainnya masih banyak antara lain “Louisiana State A&M University” sebagai nama resmi dari LSU di Batton Rouge, negara bagian Louisiana…

O ya, selain mbah langsung dari pihak bapak dan ibu, saya masih punya serangkaian mbah lagi yang bermukimnya cukup jauh dari Madiun. Kalau desa Pintu nDagangan dari rumah saya di Madiun berjarak sekitar 12 km, maka desa Rejosari berjarak sekitar 10 km dari rumah saya. Beberapa mbah lainnya kami sebut berdasarkan tempat tinggal mereka, tanpa satupun yang saya tahu namanya, ataupun hubungan kekeluargaannya dengan mbah saya “asli” yaitu mbah nDagangan atau mbah Rejosari..

Jadi saya juga punya mbah, yaitu mbah Onder di Uteran (Onder mungkin berasal dari kata Onderneming alias pemerintahan setingkat Kawedanan – sedikit di atas Kecamatan tapi masih di bawah Kabupaten). Yang menyiratkan bahwa mbah Uteran saya itu dulunya jabatannya di jaman Belanda adalah Wedana. Ada mbah Walikukun di Walikukun. Ada mbah Randublatung di Randublatung…

Terakhir, ada satu mbah yang tidak disebutkan nama desa tempat tinggalnya, tapi disebutkan namanya. Yaitu mbah Djono, yang rumahnya 1 blok dari tempat tinggal mbak Iing isteri Kikiek, dan juga 1 blok dari tempat tinggal Simbah dan Mas Judi kasturi yang sering mampir di blog ini…

Adakah, anda punya silsilah ? Tahukah anda nama eyang anda laki dan perempuan ? Eyang buyut ? Eyang canggah ? Eyang gantung siwur ? Nama-nama Pak Puh dan Bu Puh ? Nama Pak Lik dan Bu Lik ?

Kalau belum, cepat dicatat sekarang. Ntar lupa semuanya seperti saya ini…

21 Comments (+add yours?)

  1. yulism
    Sep 01, 2008 @ 04:00:52

    Wah sama Pak Tri, saya tau nama kakek dari Bapak namanya mbah lurah Cokormejo, tapi mbak Ibu (mbah putri) ngak tau namanya dan nenek dari Ibu cuman panggil mbah Gorang Gareng. hah… aneh ya Pak, kok ngak dikasih tau sama ortu ya. terimakasih.

    Reply

  2. Agung
    Sep 01, 2008 @ 09:32:58

    wah,inget donk Pak.
    walopun sodaraan kakek saya 10 orang.
    dan sodaraan nenek saya 12 org.
    saya masih inget semua.
    yah,plg gak inget nama panggilannya.
    karena smuanya pake nama Cina 3 kata smua.
    hahahahhahaha…!!
    kakek dan nenek buyut dr kakek dan nenek pun saya tau,walopun tinggal meja abunya doank.
    hahahahahhahaha..!!!
    kalo Sin Cia kan kumpul semua tuh.
    trus “pai2” di meja abu.
    jadi tau deh.
    yah,ternyata tradisi Cina berguna jg.
    biar tau ama sodara dan silsilah kita.
    hehehehehhee..!!

    Reply

  3. tridjoko
    Sep 01, 2008 @ 12:35:19

    –> Agung :

    Ya di keluarga Chinese, Korean atau Japan mungkin lebih mudah menghafal nama saudara kan tinggal dua kata saja yang perlu dihafal, karena satu kata lagi kan artinya marga…

    Lain dengan orang Jawa yang “can make up their own names” jadi susah mendapatkan pattern-nya. Istilah compiler-nya, susah untuk menggambarkan “regular expression”-nya….hahahahah…

    Reply

  4. Agung
    Sep 02, 2008 @ 09:34:06

    cuma yg sulit adalah,
    menghafal “pangkatnya”.
    soalnya panggilan sodara dari Papa dan Mama itu beda.
    jd paman dr Papa beda panggilnya dgn Paman dari Mama.
    dan Paman yg lbh tua dr ortu jg beda panggilnya dengan Paman yg lbh muda.
    begitu jg dgn Bibi.
    nah…..!!!
    di situ sulitny,karena pd jaman Grandparent dan ortu saya anak2nya byk2.
    jd kalo ketemu,musti hrs otomatis inget ini anakny sapa,bandingin ma umur ortu,dll.
    mabok pisan.
    kalo Imlek tuh Pak,
    tangan rasanya ud loncer buat “pai2”,dan mulut ampe berbusa2 bilang “Gong Xi”.
    hahahahahahha…!!
    untung angpaonya memuaskan.
    hahahhahahahaha…!!
    mungkin kalo lebaran wkt Bapak kecil jg gt kali Pak yah?!
    musti sungkem2.
    hehehhehehe..!!

    Reply

  5. tridjoko
    Sep 02, 2008 @ 12:03:04

    –> Agung :

    Kalau di keluarga Jawa, saudara ayah/ibu yang lebih tua dari bapak/ibu dibedakan dengan saudara yang lebih muda..

    Kalau yang lebih tua disebut “Pah Puh” (Bapak Sepuh) atau “Pak De” (Bapak Gede) untuk pria, dan “Bu Puh” atau “Bu De” untuk perempuan..

    Kalau yang lebih muda disebut “Pak Lik” (Bapak Cilik) atau “Bu Lik”..

    Nah, tidak ada bedanya tuh antara “Pak De’ dari pihak bapak dan “Pak De” dari pihak Ibu. Kebetulan Bapak saya dulu asalnya dari desa 10 km di selatan Madiun, sedang Ibu berasal dari desa 7 km di sebelah utara Madiun..

    Jadi membedakan keluarga Bapak sama Ibu mudah aja, kalau “Wong Lor” berarti keluarga Ibu, sedangkan kalau “Wong Kidul” berarti keuarga Bapak (kalau keluarga Bapak pulangnya ke arah selatan, dan kalau keluarga Ibu pulangnya ke arah utara)…

    Reply

  6. Agung
    Sep 04, 2008 @ 15:21:17

    nah,kalo Chinese,beda “suku” beda panggilannya Pak.
    Papa saya Khe,
    Mama Cina Benteng.
    jauh banget bedanya walopun sama2 Cina.
    hahahahahhahaha…!!

    Reply

  7. tridjoko
    Sep 04, 2008 @ 16:10:45

    –> Agung :

    Hehehe…saya lupa kalau anda blasteran chinese Kek dan Benteng (Hokkian ?) ya, pantas saja sebutan Pak De di pihak bapak dan Pak De di pihak ibu beda….

    Hahahaha…aya-aya wae !

    Reply

  8. edratna
    Sep 07, 2008 @ 06:33:41

    Dulu, saat setelah lulus test masuk BUMN atau PNS, ada semacam tes…..untuk menentukan apakah kita tersangkut G 30 S…..pertanyaannya bermacam-macam dan ada diantaranya silsilah keluarga. Saat ditanya silsilah keluarga, lha mulai pusing…syukurlah saat itu peserta punya kendala yang sama. Entah kenapa, saat itu kita memanggil pakai nama daerahnya, temanpun begitu pula…bude Karanganyar (siapa ya nama aslinya)….pakde Winongo….

    Dan entah sejak kapan kebiasaan itu berubah…jadi sekarang saya mulai dipanggil “Eyang Enny”…bukan eyang Jakarta atau eyang Cialndak…hehehe

    Reply

  9. tridjoko
    Sep 07, 2008 @ 07:42:16

    –> Bu Edratna :

    Masuk BPPT tahun 1980 dulu saya yang ngetest “bersih lingkungan” orang BAKIN. Orangnya serem-serem tapi karena saya jawab apa adanya, saya hanya test selama 15 menit. Ada teman yang terpaksa ditest 2 jam, malahan ada teman yang harus mengulang 2-3 kali baru lolos….

    Waktu itu karena terpaksa, saya hafal nama-nama Pak De, Pak Lik, dan Embah….tapi anehnya sekarang ini, 28 tahun kemudian semua memori nama ini sudah terhapus dari ingatan….mungkin di hard disk otak saya ada yang “bad sector”…hahaha…

    Reply

  10. Agung
    Sep 08, 2008 @ 22:18:59

    iyah tepat sekali.
    saya Chinese aja msh blasteran.
    hahahahahhaha…!!
    bner Pak,Cina Benteng tuh dolonya org Hokkian.
    tp saking bagusnya dalam hal “membaur” org Cina Benteng justru kalo ngomong ga ada mandarin2nya.
    malah bahasa Benteng (kombinasi betawi dan sunda).
    hahahahahhahaha…!!

    tp emank beda Pak.
    misalnya di Khe,
    “Pak De” dr pihak Bapak disebutnya “A Pak”,istrinya “Pak Me”,
    kalo “Pak De” dr pihak ibu “A Khiu”,dan istrinya “Khiu Me”.

    kalo Cina Benteng (Hokkian),
    “Pak De” pihak Bapak disebutnya “A Pe”,istrinya “A Em”,
    kalo “Pak De” dr pihak ibu “A Khu”,dan istrinya “A Kim”.

    yah gt jg sodara perempuan.
    klo Khe,
    sodara perempuan dr Bapak disebut “Khu Khu”,ga peduli lbh tua ato ga dr Bapak kita.
    dan suaminya disebut “Khu Chong”.
    dan kalo sodara perempuan dr Ibu disebut “Ie Ie”,jg ga liat umurnya dgn Ibu kita.
    dan suaminya disebut “Ie Chong”.

    nah klo CiBen (Hokkian),
    sodara perempuan Bapak disebut “Ouw Ouw”,
    dan suaminya “Ouw Thio”.
    kalo sodara peremuan Ibu,sama aj kyk Khe,”Ie Ie”,tp suaminya jd “Ie Thio”.

    dan kalo sodaranya grandparent kita,tinggal di bandingin ama grandparent kita,dan di tambahkan “Kung” buat laki2,dan “Pho” buat perempuan.
    itu kalo di Khe.

    kalo yg CiBen saya kurang ngerti tuh kalo sodaranya grandparent.
    hehehehehhee..!!

    Reply

  11. tridjoko
    Sep 09, 2008 @ 15:27:47

    –> Agung :

    Wah..thanks infonya. Saya baru tahu Cina Benteng bahasanya campuran antara Betawi sama Sunda, setahu saya mereka bercakap dengan Hokkian… 😉

    Reply

  12. Agung
    Sep 09, 2008 @ 20:25:01

    iyah,
    plg bahasa Hokkiannya ketinggalan buat beberapa istilah aja.
    seperti panggilan2 itu,dan nama2 barang yg sering digunakan.
    selebihnya yah BENTENG.
    yah,logatnya yah tata bahasanya.
    hahahahahhaha…!!

    Reply

  13. tridjoko
    Sep 10, 2008 @ 07:57:10

    –> Agung :

    Di awal tahun 1980an pemerintah Singapore mengalami kesulitan untuk memperkenalkan bahasa Mandarin bagi para penduduknya yang hampir 99% bercakap dalam bahasa Hokkian. Tapi tahun 1992 ketika saya di sana, sudah banyak orang Singapore yang bisa membaca, menulis dan bercakap dalam bahasa Mandarin antara lain dengan inisiatif sendiri mengambil “double degree” waktu SD-nya. How come ? Jadi paginya ia ngambil SD yang bahasa pengantarnya English. Lalu siangnya ia ambil SD lagi yang bahasa pengantarnya Mandarin. Tentunya ia bayar sendiri. Setelah gede, wah kemampuan bahasanya ciamik sekali…dibanding rata-rata orang Singapore.

    Teman2 saya sekelas walaupun bercakap dalam bahasa Mandarin, tapi logatnya masih ManHok alias bahasa Mandarin logat Hokkian. How do I know ? Di Indonesia kan chinesenya banyak yang bercakap Hokkian, jadi dikit2 saya tahu logatnya dan tahu artinya. Itu yang membuat saya geleng-geleng kepala karena kebanyakan mereka masih berlogat Hokkian walaupun bahasanya Mandarin…. (tapi untuk melucu, mengumpat, menjelaskan sesuatu yang sulit…mereka masih pakai Hokkian yang “lebih cocok” untuk itu daripada bahasa Mandarin yang cenderung halus….ibarat bahasa Jawa kan bahasa Mandarin itu bahasa Jawa logat Solo atau Yogya yang halus gitu…)…

    Saya sok tahu ? Hehehehe…hopefully not…

    Reply

  14. Agung
    Sep 10, 2008 @ 22:09:07

    iyah,
    jgn kan keluarga Mama saya yg ud di indo ratusan tahun.
    Papa saya aj Mandarinnya pas2an.
    penyebab utama org2 chinese di daerah jabodetabek ga bs mandarin,
    karena jaman thn 60an.
    org yg ngomong mandarin dianggap komunis dan dibunuh.
    beda kyk di medan ato bangka yg jauh dr jakarta.
    itu cerita kakek saya.
    bahkan ngomong mandarin di rmh aj,kalo ketauan ama tetangga yang pribumi,
    dolo dilaporkan ke polisi,
    dan satu keluarga ditangkap.
    malah dolo lbh parah lg,
    di daerah tangerang dan jakarta terjadi perampokan massal oleh pribumi ke chinese.
    di mana tanah dan rumah keluarga chinese di rebut paksa,wanitanya diperkosa dan dibunuh,lelakinya lgs dibunuh.
    itu terjadi di thn 60an ato 70an.
    saya lupa.
    ada bbrp keraabat saya yg kena musibah itu di masa lalu.
    jd jgn salahkan kami org2 chinese ga bs bhs mandarin.
    kami sih mao2 aj ngomong mandarin.
    tp ……
    yah,saya ud daftar di BNLC buat ikut kursus mandarin.
    hehehehehhehe…!!!

    Reply

  15. tridjoko
    Sep 11, 2008 @ 07:20:57

    –> Agung :

    Itu ceritanya panjaaaaaang sekali…nanti deh kalau sempat (kerjaan2 kantor yang critical sudah selesai) saya akan nulis di blog ini mengapa begitu..

    Tapi intinya, setelah peristiwa 1965 dan kedekatan poros Jakarta-Peking waktu itu, banyak orang Indonesia takut melihat aksara China karena mereka tidak bisa membacanya !!!

    Daripada disusupi ideologi komunis, maka dipukulrata aja bahwa huruf China dilarang di Indonesia…

    Keputusan Indonesia tentu tidak begitu saja, pasti ada yang nyuruh, ya mungkin “The Big Boss” yang nyuruh….

    Siapa mereka ? Tanyalah pada rumput yang bergoyang…

    Setelah pemerintah mulai era Gus Dur sudah terbuka, sekaranglah waktunya anda belajar bahasa Mandarin sekenyang-kenyangnya… hehehe…

    Reply

  16. Agung
    Sep 11, 2008 @ 18:01:59

    yah,tp sbnrnya ga perlu ampe disangka komunis,ditangkap,bahkan ampe dibunuh kali.
    boro2 ngerti komunis,
    org chinese wkt itu cm ngerti,yg penting keluarganya hdp ga kelaparan.

    dan soal yg rmh dan tanahnya dirampas dan pemerkosaan juga pembantaian itu.
    saya rasa bukan dipicu oleh pemerintah.
    ntah lah.
    mungkin kecemburuan rasis.
    yg jls alasan ekonomi bukan utamanya.
    yah,
    kalo ud gt,mungkin ga sih kami2,org2 chinese pny rasa nasionalis??
    trus pantas ga klo negara nuntut kami2 yg berlebihan??
    hahahahhahaha…!!
    kita tanya pd pohon srikaya yg rajin berbuah.
    hahahahahha..!!

    Reply

  17. tridjoko
    Sep 11, 2008 @ 19:55:31

    –> Agung :

    Mungkin terlalu sulit bagi saya atau bagi orang lain bercerita mengapa komunis dianggap berbahaya oleh sementara orang di tahun 1960an, bercerita kepada anak-anak seusia anda yang sulit untuk membayangkan peristiwa itu benar-benar ada…

    Tapi intinya, tahun 1960an terutama, dunia ini terbagi dua : kapitalis dan komunis. Hal ini sudah terjadi bahkan setelah selesai Perang Dunia II, ketika kota Berlin terbagi dua, begitu juga Korea terbagi dua, dan Vietnam terbagi dua…

    Kalau banyak yang terbunuh, tidak hanya chinese. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya, juga banyak yang terbunuh..

    Mengapa ? Kalau anda tidak tertarik sejarah, lebih baik segera melupakan masalah ini. Mungkin secara hukum, membunuh orang adalah salah. Tapi pada masa chaos, hukum sudah tidak berlaku lagi. Law and order sudah tidak ada. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Jerman, Korea, Vietnam, dan di tempat-tempat lainnya..

    Cerita majalah kecil Intisari di tahun 1960an dan 1970an masih sekitar masalah-masalah itu. Bagaimana kalau anda bertanya kepada orangtua anda ? Kalau mereka tertarik sejarah lho ?

    Hal itu tidak ada hubungannya dengan orang chinese punya rasa nasionalis atau tidak. Yang jelas di dalam suatu populasi, ada yang sangat nasionalis, ada yang netral, dan ada yang tidak nasionalis. That’s statistic ! That’s life…

    Face it, man..

    Reply

  18. tridjoko
    Sep 12, 2008 @ 15:33:10

    –> Agung :

    Diskusi terpaksa dihentikan di sini, karena sudah mengarah ke CONTROVERSY dan BIGOTRY yang sebenarnya berdasarkan kebijakan blog ini (lihat button “About Me”) dilarang !

    Mungkin sebaiknya anda mengangkat sendiri topik itu di Blog anda sendiri…

    Good luck !

    Reply

  19. Agung
    Sep 13, 2008 @ 12:50:08

    wah,maaf yah Pak.
    hehehehehhe..!!!
    saya jd sedikit emosi kalo ada org (khususnya pribumi),nanya,
    “kok kamu ga bs ngomong mandarin?? kan kamu chinese.”
    hehehehehhe…!!
    sekali lg maaf..!!

    Reply

  20. judi kasturi
    Oct 24, 2008 @ 12:22:41

    Mas Tridjoko

    Mohon maaf nderek mampir, Mas Bos. Karena saya juga kami embah en, jadi kelingan Mbah Uteran. Waktu kecil, saya sering sekali di ajak bapak ke Uteran. Mbah saya punya warung kecil, kalau dari arah Madiun di kanan jalan. hanya berjarak dua ratusan meter dari Mbah yang punya warung itu, saya juga punya Mbah lagi -karena nggak tahu namanya- juga tak sebut Mbah Uteran. Bedanya, Mbah yang punya warung itu tergolong ber ekonomi pas2 an, Mbah satunya tergolong -untuk ukuran daerah itu- orang kaya. Konon ke dua Mbah itu kakak beradik dan herannya mbah yang punya warung juga tak mengenalkan dengan saudaranya yang dekat dengan sumur bor Uteran itu. Karena saya juga termasuk keluarga pas2an, sangat akrab dengan Mbah yang punya warung itu. Jangan tanya namanya siapa. Sumprit, saya nggak tahu juga.

    Beda kaya miskin, beda komunitas dan jauh nya jarak karena transportasi juga jeleknya sarana jalan waktu itu, kita sedikit demi sedikit terpisah dari Mbah – Mbah kita itu dan bahkan karena saking banyaknya sampai nggak ingat namanya.
    Untuk saya sendiri, belakangan, pelahan saya juga masih punya banyak Mbah dari daerah Dolopo, selatan Uteran. Karena gak tahu namanya dan tahunya baru2 ini saja, muncul nama2 Mbah Norame (dari desa Norame), Mbah Pikatan (dari desa Pikatan), Mbah Siderejo, Mbah Setemon dan masih banyak Mbah lagi. Tentunya, saya juga nggak inget namanya. Dan lebih mengherankan lagi, ketika menyebut nama Bapak, beliau – beliau lah yang tahu tentang kita ha ha ha
    Tentu, saya merasa bahagia sekali ketika berkunjung ke desa yang cukup asing untuk ukuran orang kota seperti Jakarta , kita dapat pengakuan sebagai Putu (Cucu). “Putuku!”, teriak Mbah girang. Sementara kita baru sekali ketemu dan nggak tahu namanya pula ha ha ha

    Reply

  21. tridjoko
    Oct 26, 2008 @ 22:13:13

    –> Mas Judi Kasturi :

    Sebenarnya alasan mengapa orang Jawa menamakan mbah-mbahnya dengan desa tempat beliau tinggal karena orang Jawa tidak punya “marga” (lain dengan orang Batak, orang Manado, atau orang Ambon, yang punya marga)..

    Di kalangan orang Jawa, bapaknya bisa bernama Suto, ibunya bernama Temon, anak-anaknya mungkin bernama Katemon, Katemi, Kaminten, Cikrak, lan Siwur (dua nama terakhir sudah semakin jarang dalam 60 tahun terakhir ini)..

    Jadi tidak ada marga. Nah, sebenarnya marga bisa dibentuk dari nama daerah. Misalnya nama saya mestinya Tri van Pagotan, Tri van Pintu, Tri van Banjarsari, atau Tri van Rejosari..(niruan orang Belanda Rene van der Kerkhof, John van der Bilt; atau niruin orang Jerman Otto von Bismark, Herbert von Karajan; atau niruin orang Itali : Luigi Di Natale, Rene Di Bona..

    “Van”, “Von” dan “Di” artinya “dari desa”…

    Jadi Mas Judi Kasturi mestinya namanya : Judi K. king Uteran, atau Judi K. king Dolopo…

    Repotnya,…kalau ntar sampeyan pergi ke London (ngikutin Changcuters)…anda dikira keturunan Raja karena ada “king” di nama sampeyan cak !

    Reply

Leave a reply to tridjoko Cancel reply