Bunker Jepang di kota Madiun

Walaupun lahir di akhir tahun 1950an di kota Madiun, tapi saya mulai “melek” dan melihat-lihat kota Madiun punya apa baru dapat saya lakukan di awal tahun 1960an. Itupun karena rumah (kontrakan) lama saya ada di dusun Mboboran, Desa Winongo di sebelah barat jembatan KA sungai Madiun, yaitu di bagian utara kota Madiun, sedangkan rumah baru saya adalah di dusun Ngrowo, Desa Mojorejo Madiun, yang ada di sebelah selatan kota..

Bila Ibu ingin mengunjungi saudara-saudaranya yang ada di dusun Mboboran, dusun Tambakrejo, atau desa Winongo, kamipun diajak berempat naik becak menyusuri kota Madiun dari sisi selatan ke sisi utara yang jaraknya sekitar 3 kilometer..

Pemandangan yang saya lihat tentang Madiun tahun 1960an sangatlah menakjubkan. Rumah-rumah “loji” yang beratap tinggi, berplafon tinggi dan dipenuhi lubang-lubang angin adalah sebuah keharusan di rumah-rumah Madiun waktu itu. Warna rumah yang gabungan putih dan abu-abu adalah trend di waktu itu. Warna putih berasal dari kapur yang dioleskan di tembok (cat tembok waktu itu belum ada !) dan warna abu-abu berasal dari warna batu atau kerikil yang dibuat seperti tegel dan ditempelkan di tembok. Halaman yang luasnya minimal 500 meter persegi terlihat di rumah-rumah sepanjang Jalan Dr. Sutomo dan Jl. Panglima Sudirman yang merupakan “Jalan Diponegoro dan Jalan Teuku Umarnya” alias jalan paling bergengsi waktu itu.

Dari Pasar Klegen di sisi timur sampai dengan jembatan Tuk Buntung di sisi barat waktu itu di sebelah kiri jalan semuanya masih berupa tanah lapang berumput, sedangkan dua gedung yang sudah berdiri waktu itu adalah gedung SMA 1 Madiun bertingkat tiga dan berstruktur baja di sebelah timur dan gedung IKIP Malang Cabang Madiun yang berarsitektur minimalis 1 tingkat di sebelah barat. Bahkan, di sebelah timur gedung IKIP tersebut lapangan rumput kalau malam hari sering dijadikan praktek jual beli cinta bagi bidadari-bidadari malam kota Madiun !

Dari arah jembatan Tuk Buntung ke arah barat sampai perempatan Jalan Panglima Sudirman – Jalan Bali, dipenuhi dengan gedung-gedung berarsitektur loji berukuran besar. Mirip dengan gedung-gedung yang sekarang ini nampak di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Sayangnya, gedung-gedung loji yang berada di sebelah selatan jalan semuanya dihuni tapi gedung-gedung yang ada di sebelah utara jalan kebanyakan tidak berpenghuni. Saya tidak tahu, apakah para penghuninya nggak berani ninggalin rumahnya karena di belakang rumahnya berbatasan dengan Makam Cangkring, makam terbesar di kota Madiun. Di sisi jalan Panglima Sudirman ini tinggallah seorang gadis manis yang bernama “R” yang tidak pernah satu sekolahan dengan saya.

Antara perempatan Jalan Bali-Jalan Panglima Sudirman ke arah pertigaan Jalan Panglima Sudirman-Jalan Dr. Sutomo, banyak sekali “atraksi” atau “pemandangan” tahun 1960an yang sekarang ini sudah tidak ada. Di sebelah utara jalan ada rel kereta api jurusan Madiun-Pagotan-Uteran-Ponorogo-Slahung yang dijalani oleh kereta uap yang menarik 2-3 gerbong penumpang. Di sisi perempatan Jalan Bali ini di sisi selatan Jalan ada sebuah rumah orang Cina yang burung beonya bernama “Slamet” dan bisa ngomong banyak. Kami waktu kecil sering menggoda si Slamet ini supaya dia mengucapkan “Selamat Pagi”, “Apa kabar ?”, dan sebagainya. Herannya, setiap kali kami ajarin yang bukan-bukan seperti “Diamput” atau “Busyet”, si Slamet diam saja tapi yang kemudian keluar adalah anjing Doberman berwarna hitam yang menakutkan mukanya dan nyalaknya…huk..huk…huk..!!

Di sebelah barat rumah yang punya si Slamet ini ada sebuah toko roti “Baroe” yang sering menjual kue-kue paling enak se Madiun dan juga mungkin se dunia ! Yang punya adalah orang Cina kurus, dan kue paling enak adalah “kue Soes” dan “kue Lumpur” yang konon terbuat dari kentang itu. Tapi satu item yang dijual di Toko “Baroe” yang tidak ada di tempat lain yaitu telur asin terbuat dari telur bebek dan berwarna biru muda ini. Telur asinnya bener-bener pas, asinnya, masirnya, dan warna kuningnya. Tidak itu saja, entah bagaimana si Koko membuatnya, telur asinnya baunya harum !!

Di sebelah barat Toko Baroe penjual roti ini ada Pasar Burung kota Madiun. Walaupun pasar burung, tapi yang dijual di sini praktis adalah semua jenis binatang seperti kucing, kelinci, tupai, marmut (hamster), dan lain-lain. Bila hari Minggu, saya dan teman-teman suka berjalan kaki ke sini untuk melihat-lihat berbagai macam burung dari burung dara sampai burung kepodang, dan melihat-lihat kucing yang bulunya bagus-bagus.

Di sebelah barat pasar burung ini ada pabrik rokok Koenir, yang dipunyai oleh bapaknya Handoko, teman sekelas SMA saya. Handoko ini nakalnya luar biasa, tapi akalnya juga kelihatannya banyak. Ia termasuk salah satu sponsor teman2 sekelas dulu menarik tabungan dari guru, hampir semuanya, dan menyewa film BF 35 mm yang diputar dengan mesin itu…

Di sebelah barat pabrik rokok Koenir ada toko mebel yang bernama “Itu Dia Saleh” yang menjual segala jenis mebel dan dipunyai oleh seorang Arab yang barangkali bernama Saleh. Sunngguh “Itu Dia Saleh” adalah nama toko yang aneh, seaneh nama rumah makan “Rumah Makan di Bawah Pohon” (Onder de Boom Restaurant) yang ada di pertigaan Jalan Budi Kemuliaan-Jalan Abdul Muis di Jakarta.

Singkat kata, waktu itu suasana kota Madiun masih asli dan sisa-sisa masa Perang Dunia II dan Perang Kemerdekaan masih sangat terasa. Di Jalan Dr. Sutomo di sebelah timur SMP 1 di bawah pohon asem yang besar di bawahnya masih ada satu bungker peninggalan jaman Jepang. Bunker atau lubang perlindungan itu terbuat dari batu bata yang disusun melintang dengan tebal sekitar 50 cm berbentuk melengkung dengan tinggi sekitar 1,5 meter dan dalam sekitar 5 meter. Mungkin maksudnya untuk berlindung para prajurit Jepang pada saat ada serangan udara Sekutu.

Selain di Jalan Dr. Sutomo di sebelah timur SMP 1 Madiun, bunker Jepang juga nampak di Kompleks tentara Boeschba di Jalan Diponegoro. Bentuk bungkernya sama, tapi kalau yang di sebelah barat jumlah bungkernya hanya satu, tapi di kompleks tentara ini jumlah bunkernya tidak kurang dari sepuluh !!!

Sayang, ketika dua minggu lalu saya pulang ke Madiun, baik bungker Jepang di sebelah timur SMP 1 Madiun dan juga yang ada di kompleks Boeschba sudah tidak ada lagi. Entah bagaimana membongkar struktur sekokoh bunker yang tahan bom 1 ton itu, yang jelas bunker-bunker itu sekarang sudah tidak ada.

Apakah artinya sekarang ini Madiun sudah aman dari Perang ? Atau ada kepentingan lainnya sehingga bunker-bunker itu sekarang sudah tidak kelihatan lagi ?