Tetap ramai dikunjungi, tapi komentar berkurang

Secara statistik, blog saya ini tetap ramai dikunjungi orang, yaitu sehari tetap antara 450 – 790 hits kecuali weekend yang agak menurun sedikit. Tapi jumlah komentar semakin berkurang….dengan alasan yang jelas, yaitu orang-orang masih mengalami “masa honeymoon” dengan Facebook yang merupakan kegiatan “micro blogging”…apalagi kalau punya BlackBerry…yang juga lagi “in” dan “the only game in town”…

Ditilik lebih lanjut, jenis pertanyaan atau enquiry yang masuk ke blog ini juga semakin sempit, hanya mengenai : Mario Teguh, raket badminton, bat pingpong, dan judul skripsi (Teknik Informatika, Matematika, Statistika, dan Sastra Inggris). Masih ada sedikit yang bertanya tentang : motivasi, lagu jadul tahun 60an dan 70an…..

Yang jelas, hampir tidak ada pertanyaan tentang “current issues” seperti mengapa Hercules jatuh di Magetan atau mengapa partai ini itu memenangkan pemilu ?

Apakah penurunan kualitas enquiry dan kualitas komentar di blog ini membuat anda “gentar” ?

Gentar ? No lah yauw…

Blog ini dibuat dengan motivasi untuk menuliskan cerita-cerita yang selama ini hanya saya ingat di memory saya. Dengan menceritakan pengalaman-pengalaman saya siapa tahu ada pembaca blog ini yang dapat memperoleh manfaatnya..

Dengan berkurangnya komentar, sebenarnya perhatian saya bisa “full” untuk menulis. Istilah pilotnya, menulis dengan “full throttle”…karena jangka panjangnya, saya pengin memilih beberapa tulisan di Blog ini untuk dituliskan menjadi sebuah buku, bila ada rejeki, atau bila ada pihak yang mensponsorinya…

Selama ini sudah 400 tulisan yang saya buat di Blog ini selama 1,5 tahun terakhir. Mungkin saya bisa memilih beberapa tulisan untuk dituliskan sebagai buku berjudul “Madiun Tahun 1950an sampai 1970an”, “Sejarah Universitas Bina Nusantara”, “Kick Your Butt, Break Your Legs : Motivasi Belajar untuk Mahasiswa”, “Bloomington yang Saya Tahu”…sampai dengan “Bacaan Santai : Boleh Dibaca Sambil Tiduran”…

Makanya saya akan tetap menulis….till the end of time…

Binus rekrut mahasiswa dengan word of mouth

Mungkin kalau ada yang saya herankan, adalah mengapa universitas tempat saya ngajar ini kurang sekali memasang iklan ? Saya lihat universitas-universitas swasta lainnya di Jakarta gencar beriklan di koran, radio, tv, internet, termasuk pula universitas negeri yang punya program internasional. Binus ? Sedikit, kalau tidak bisa dikatakan : nothing !

Jadi bagaimana Binus merekrut mahasiswa barunya ? Dengan “getok tular” alias by the word of mouth. Apakah itu cukup ampuh ? You bet !

Di Binus mahasiswa angkatan 2009 yang akan masuk kuliah mulai akhir Agustus atau awal September 2009 disebut dengan “Binusian 2013”. Angka 2013 menandakan kapan angkatan (ada yang bilang “cohort” ada yang bilang “batch”) ini akan diwisuda. Artinya, jika saya diberi berkah umur panjang dan diberi keberuntungan tetap bisa mengajar di Binus, nanti di tahun 2014 atau 2015 bila masih ada mahasiswa di kelas saya yang NIM-nya 13000xxxxx berarti ia “mahasiswa kadaluarsa”, “mahasiswa swasta” (seperti istilah di ITB) alias “mahasiswa recidivist” (seperti istilah di UI atau IPB)…

Secara tradisional mahasiswa Binus adalah : 30% mahasiswa dari Tangerang, 30% dari Sumatera, dan 40% sisanya mahasiswa campuran dari Jabodetabek (minus Tangerang), Jawa Tengah, Kalimantan (terutama Kalbar), Bali, Nusra, dan juga Sulawesi (terutama Sulsel dan Sulut). Dari komposisi mahasiswa seperti ini, Binus kelihatannya tidak bisa disebut sebagai “universitas nasional” yang mahasiswanya menyebar rata dari NAD sampai Papua..

Ciri-ciri mahasiswa Binus adalah mahasiswa konservatif yang dicirikan dengan ikatan keluarga yang kuat. Maksudnya, orangtua mahasiswa Binus erat hubungannya dengan putra-putrinya yang sedang kuliah di Binus, dan para orangtua itu terutama yang dari jauh, mempercayakan sepenuhnya putra-putrinya berkuliah di Binus sampai selesai, tentunya dengan doa “Semoga lancar selalu..”..Maka tidak mengherankan mendapati, terutama menurut pengamatan saya sebagai dosen, banyak kakak-adik yang berkuliah di Binus. Tapi saya belum tahu, apakah sudah ada lulusan Binus yang anaknya juga masuk Binus ? Kalau yang dimaksud Universitas Binus, mungkin belum ada ya. Kecuali Binus School (TK, SD, SMP, SMA) yang terletak di Simprug (yang gedungnya mirip CPU komputer itu) dan di Serpong (yang sangat environmentally friendly itu)…

Sebenarnya ada rahasia kecil mengapa antar mahasiswa Binus tidak pernah ada perkelahian. Salah satunya adalah mahasiswa baru yang mau masuk Binus sebelumnya harus menandatangani selembar perjanjian di atas kertas warna merah jambu (saya menyebutnya “Perjanjian Merah Jambu) yang ditandatangani orang tua di atas meterai Rp 6.000. Banyak hal yang diperjanjikan antara Binus dan para mahasiswa baru itu, dengan point pertama (saya masih hafal, soalnya dulu saya termasuk yang merancang formulir merah jambu itu) “Mahasiswa dilarang memeras milik orang lain”…

Wah..”dilarang memeras milik orang lain” ? Mudah-mudahan anda sadar sepenuhnya what is the meaning of that sentence. Mind you !!

Mahasiswa bila berkelahi sesamanya atau ada pengeroyokan terhadap mahasiswa lain, juga akan dikeluarkan dari kampus “in the first offence”, bahkan pada tindakan pertama sekalipun !

Sebenarnya Binus itu kampus yang relatif damai, dengan catatan di dalam pagar kampus Binus. Sedangkan di luar kampus Binus, dengan mahasiswa total sejumlah hampir 30,000 orang tentunya terpengaruh juga oleh situasi dan kondisi keamanan Jakarta pada umumnya.

Tapi sebagai dosen, saya ingin bertanya kepada para orang tua calon mahasiswa Binus, “Ada nggak sih kampus lain yang seaman Binus ?”. Jawabnya adalah, “Sangat jarang”.

Tapi kalau pertanyaannya, “Ada nggak sih kampus lain yang lebih murah dari Binus ?” dan jawabannya adalah “Banyak !”. Sedangkan kalau ditanya “Ada nggak sih kampus lain yang lebih mahal dari Binus ?” maka jawaban yang tepat adalah “Ada, tapi tidak banyak”..

Mungkin justru di situlah letak kuncinya. Di tahun 1996 yang lalu bila Yayasan Binus mensurvai mahasiswa Binang alasan mengapa memilih Univ Binus, jawabannya adalah “Karena murah” (waktu itu studi 4 tahun total biaya hanya Rp 4.600.000), sekarang ini di tahun 2009 saya duga jumlah biaya yang akan dikeluarkan oleh orang tua untuk menyekolahkan ke Binus tidak kurang dari Rp 55 juta selama 4 tahun (Rp 25 juta + Rp 10 juta + Rp 10 juta + Rp 10 juta) tapi itu hanya uang sekolahnya saja. Sedangkan uang saku bulanan tergantung kemampuan orang tua, saya duga antara Rp 500 ribu sampai Rp 3 juta per bulan, tergantung kepada rumah kost yang dipilih…

Yang jelas, dengan word of mouth alias “getok tular”, mahasiswa baru tetap membanjiri Binus walaupun iklan yang dipasang Binus sedikit kalau tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali…

Benarkah begitu ?